Rabu, 08 Desember 2010

MACAM TAUHID

MACAM-MACAM TAUHID
Tauhid adalah mengesakan Allah dengan beribadah kepadaNya semata. Ibadah merupakan tujuan penciptaan alam semesta ini. Allah  berfirman,
 "Dan Aku (Allah) tidah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzaariyaat: 56)
Maksudnya, agar manusia dan jin mengesakan Allah dalam beribadah dan mengkhususkan kepadaNya dalam berdo'a.
Tauhid berdasarkan Al-Qur'anul Karim ada tiga macam:
  1. TAUHID RUBUBIYAH

    Yaitu pengakuan bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan dan Maha Pencipta. Orang-orang kafir pun mengakui macam tauhid ini. Tetapi pengakuan tersebut tidak menjadikan mereka tergolong sebagai orang Islam. Allah berfirman,  "Dan sungguh, jika Kamu bertanya hepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan mereka', niscaya mereka menjawab,'Allah'." (Az-Zukhruf: 87)

    Berbeda dengan orang-orang komunis, mereka mengingkari ke-beradaan Tuhan. Dengan demikian, mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah.
     
  2. TAUHID ULUHIYAH

    Yaitu mengesakan Allah dengan melakukan berbagai macam ibadah yang disyari'atkan. Seperti berdo'a, memohon pertolongan kepada Allah, thawaf, menyembelih binatang kurban, bernadzar dan berbagai ibadah lainnya.

    Macam tauhid inilah yang diingkari oleh orang-orang kafir. Dan ia pula yang menjadi sebab perseteruan dan pertentangan antara umat-umat terdahulu dengan para rasul mereka, sejak Nabi Nuh alihissalam hingga diutusnya Nabi Muhammad  Shalallahu Alaihi Wa Salam.

    Dalam banyak suratnya, Al-Qur'anul Karim sering memberikan anjuran soal tauhid uluhiyah ini. Di antaranya, agar setiap muslim berdo'a dan meminta hajat khusus kepada Allah semata.
    Dalam surat Al-Fatihah misalnya, Allah berfirman,
     "Hanya Kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah Kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5)

    Maksudnya, khusus kepadaMu (ya Allah) kami beribadah, hanya kepadaMu semata kami berdo'a dan kami sama sekali tidak memohon pertolongan kepada selainMu.
    Tauhid uluhiyah ini mencakup masalah berdo'a semata-mata hanya kepada Allah, mengambil hukum dari Al-Qur'an, dan tunduk berhukum kepada syari'at Allah. Semua itu terangkum dalam firman Allah,
    "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku." (Thaha: 14)
     
  3. TAUHID ASMA' WA SHIFAT

    Yaitu beriman terhadap segala apa yang terkandung dalam Al-Qur'anul Karim dan hadits shahih tentang sifat-sifat Allah yang berasal dari penyifatan Allah atas DzatNya atau penyifatan Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam.

    Beriman kepada sifat-sifat Allah tersebut harus secara benar, tanpa ta'wil (penafsiran), tahrif (penyimpangan), takyif (visualisasi, penggambaran), ta'thil (pembatalan, penafian), tamtsil (penyerupaan), tafwidh (penyerahan, seperti yang.banyak dipahami oleh manusia) .

    Misalnya tentang sifat al-istiwa ' (bersemayam di atas), an-nuzul (turun), al-yad (tangan), al-maji' (kedatangan) dan sifat-sifat lainnya, kita menerangkan semua sifat-sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf. Al-istiwa' misalnya, menurut keterangan para tabi'in sebagaimana yang ada dalam Shahih Bukhari berarti al-'uluw wal irtifa' (tinggi dan berada di atas) sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah  Shalallahu Alaihi Wa Salam . Allah berfirman,
    "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuura: 11)
    Maksud beriman kepada sifat-sifat Allah secara benar adalah dengan tanpa hal-hal berikut ini:
    1. Tahrif (penyimpangan): Memalingkan dan menyimpangkan zhahir-nya (makna yang jelas tertangkap) ayat dan hadits-hadits shahih pada makna lain yang batil dan salah. Seperti istawa (bersema-yam di tempat yang tinggi) diartikan istaula (menguasai).
       
    2. Ta'thil (pembatalan, penafian): Mengingkari sifat-sifat Allah dan menafikannya. Seperti Allah berada di atas langit, sebagian ke-lompok yang sesat mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat.
       
    3. Takyif (visualisasi, penggambaran): Menvisualisasikan sifat-sifat Allah. Misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya Allah di atas 'Arsy itu begini dan begini. Bersemayamnya Allah di atas 'Arsy tidak serupa dengan bersemayamnya para makhluk, dan tak seorang pun yang mengetahui gambarannya kecuali Allah semata.
       
    4. Tamtsil (penyerupaan): Menyerupakan sifat-sifat Allah de-ngan sifat-sifat makhlukNya. Karena itu kita tidak boleh mengatakan, "Allah turun ke langit, sebagaimana turun kami ini". Hadits tentang nuzul-nya Allah (turunnya Allah) ada dalam riwayat Imam Muslim.
      Sebagian orang menisbatkan tasybih (penyerupaan) nuzul ini kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ini adalah bohong besar. Kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam kitab-kitab beliau, justru sebaliknya, yang kami temukan adalah pendapat beliau yang mena-fikan tamtsil dan tasybih.
       
    5. Tafwidh (penyerahan): Menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif (hal, keadaan) tidak pada maknanya. Al-Istiwa' misalnya berarti al-'uluw (ketinggian), yang tak seorang pun mengetahui bagai-mana dan seberapa ketinggian tersebut kecuali hanya Allah.
       
    6. Tafwidh (penyerahan): Menurut Mufawwidhah (orang-orang yang menganut paham tafwidh) adalah dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa yang diterangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah x, Rabi'ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua se-pendapat bahwa, "Istiwa' (bersemayam di atas) itu jelas pengertian-nya, bagaimana cara/keadaannya itu tidak diketahui, iman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah."
      Kalimat laa ilaaha illallah ini mengandung makna penafian (peniadaan) sesembahan selain Allah dan menetapkannya untuk Allah semata.

 
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah." (Muhammad: 19)
Mengetahui makna laa ilaaha illallah adalah wajib dan harus didahulukan dari seluruh rukun yang lainnya.
 
Nabi  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda:

"Barangsiapa mengucaphan laa ilaaha illallah dengan Keikh-lasan hati, pasti ia masuk Surga." (HR. Ahmad, hadits shahih)
Orang yang ikhlas ialah yang memahami laa ilaaha illallah, mengamalkannya, dan menyeru kepadanya sebelum menyeru kepada yang lainnya. Sebab kalimat ini mengandung tauhid (pengesaan Allah), yang karenanya Allah menciptakan alam semesta ini.
 
Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam menyeru pamannya Abu Thalib ketika menjelang ajal,

"Wahai pamanku, katakanlah, 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), seuntai kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu di sisi Allah, maka ia (Abu Thalib) enggan mengucapkan laa ilaaha illallah." (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam tinggal di Makkah selama 13 tahun, beliau mengajak (menyeru) bangsa Arab: "Katakanlah, 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), maka mereka menjawab: 'Hanya satu tuhan, kami belum pernah mendengar seruan seperti ini?' Demikian itu, karena bangsa Arab memahami makna kalimat ini. Sesungguhnya barangsiapa mengucapkannya, niscaya ia tidak menyembah selain Allah. Maka mereka meninggalkannya dan tidak mengucapkannya. Allah I berfirman kepada mereka:

"Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mere-ka, 'Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah)', mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sem-bahan-sembahan kami karena seorang penyair gila? 'Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)'." (Ash-Shaffat: 35-37)

Dan Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda:

"Barangsiapa mengucapkan, 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) dan mengingkari sesua-tu yang disembah selain Allah, maka haram hartanya dan darah-nya (dirampas/diambil)." (HR. Muslim)

Makna hadits tersebut, bahwasanya mengucapkan syahadat me-wajibkan ia mengkufuri dan mengingkari setiap peribadatan kepada selain Allah, seperti berdo'a (memohon) kepada mayit, dan lain-lain-nya.
Ironisnya, sebagian orang-orang Islam sering mengucapkan syahadat dengan lisan-lisan mereka, tetapi mereka menyelisihi maknanya dengan perbuatan-perbuatan dan permohonan mereka kepada selain Allah.
 
  1. Laa ilaaha illallah adalah asas (pondasi) tauhid dan Islam, pedoman yang sempurna bagi kehidupan. Ia akan terealisasi dengan mempersembahkan setiap jenis ibadah untuk Allah. Demikian itu, apabila seorang muslim telah tunduk kepada Allah, memohon kepa-daNya, dan menjadikan syari'atNya sebagai hukum, bukan yang lain-nya.
     
Ibnu Rajab berkata: "Al-Ilaah (Tuhan) ialah Dzat yang dita'ati dan tidak dimaksiati, dengan rasa cemas, pengagungan, cinta, takut, pengharapan, tawakkal, meminta, dan berdo'a (memohon) ke-padaNya. Ini semua tidak selayaknya (diberikan) kecuali untuk Allah  Shalallahu Alaihi Wa Salam . Maka barangsiapa menyekutukan makhluk di dalam sesuatu per-kara ini, yang ia merupakan kekhususan-kekhususan Allah, maka hal itu akan merusak kemurnian ucapan laa ilaaha illallah dan mengan-dung penghambaan diri terhadap makhluk tersebut sebatas perbuatannya itu.
 
Sesungguhnya kalimat "Laa ilaaha illallah" itu dapat bermanfaat bagi yang mengucapkannya, bila ia tidak membatalkannya dengan suatu kesyirikan, sebagaimana hadats dapat membatalkan wudhu seseorang.
Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda:

"Barangsiapa yang akhir ucapannya laa ilaaha illallah, pasti ia masuk Surga." (HR. Hakim, hadits hasan)
     
    MAKNA "MUHAMMAD RASULULLAH"
    Beriman bahwasanya Muhammad  Shalallahu Alaihi Wa Salam sebagai utusan Allah, adalah membenarkan apa yang dikabarkannya, menta'ati apa yang diperintahkannya, dan meninggalkan apa yang dilarang dan diperingat-kan darinya, serta kita menyembah Allah dengan apa yang disyari'atkannya.
    Syaikh Abul Hasan An-Nadwy herkata dalam buku "An-Nubuwwah" sebagai berikut, "Para nabi  Shalallahu Alaihi Wa Salam , dakwah pertama dan tujuan terbesar mereka di setiap masa adalah meluruskan aqidah (keyakinan) terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala . Meluruskan hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Mengajak memurnikan agama ini untuk Allah dan hanya beribadah kepada Allah semata. Sesungguhnya Dia (Allah) Dzat yang memberikan manfa'at. Yang mendatangkan mudharat. Yang berhak menerima ibadah, do'a, penyandaran diri (iltija') dan sembelihan. Dahulu, dakwah para nabi diarahkan kepada orang-orang yang menyembah berhala, yang secara terang-terangan menyembah berhala-berhala, patung-patung dan orang-orang shalih yang dikultus-kan, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.
     

    Allah
    Subhanahu Wa Ta'ala berfirman kepada Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam :
     "Katakanlah, 'Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya, dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan membawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman'." (Al-A'raaf: 188)
    Dan Nabi  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda,

    "Janganlah kalian berlebih-lebihan memuji (menyanjung) diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Ibnu Maryam (Isa). Sesungguhnya aku adalah hamba –Allah– maka Katakanlah: 'Hamba Allah dan RasulNya'." (HR. Al-Bukhari)
    Makna "Al-Itharuu-an"  ialah berlebih-lebihan dalam memuji (menyanjung). Kita tidak menyembah kepada Muhammad, sebagaimana orang-orang Nasrani menyembah Isa Ibnu Maryam, sehingga mereka terjerumus dalam kesyirikan. Dan Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam mengajarkan kepada kita untuk mengatakan: "Muhammad hamba Allah dan RasulNya."
     

    Sesungguhnya kecintaan kepada Rasul  Shalallahu Alaihi Wa Salam adalah berupa keta'atan kepadaNya, yang diekspresikan dalam bentuk berdo'a (me-mohon) kepada Allah semata dan tidak berdo'a kepada selainNya, meskipun ia seorang rasul atau wali yang dekat (di sisi Allah).
    Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda:

    "Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah perto-longan dari Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)

    Dan apabila Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam dirundung duka cita, maka beliau membaca:

    "Wahai Dzat yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhlukNya, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan." (HR At-Tirmidzi, hadits hasan)

    Semoga Allah merahmati penyair yang berkata, "Ya Allah, aku memintaMu untuk menghilangkan kesusahan kami. Dan kesusahan ini, tiada yang bisa menghapusnya kecuali Engkau, ya Allah."

    MAKNA "IYYAAKA NA'BUDU WA IYYAAKA NASTA'IIN"
     "KepadaMu Kami menyembah dan KepadaMu Kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5)
    Maksudnya, kami mengkhususkan kepada diriMu dalam beriba-dah, berdo'a dan memohon pertolongan.
    Para ulama dan pakar di bidang bahasa Arab mengatakan, didahulukannya maf'ul bih (obyek) " Iyyaaka " atas fi'il (kata kerja) " na'budu wa Nasta'in " dimaksudkan agar ibadah dan memohon pertolongan tersebut dikhususkan hanya kepada Allah semata, tidak kepada selainNya.
     
    Ayat Al-Qur'an ini dibaca berulang-ulang oleh setiap mus-lim, baik dalam shalat maupun di luarnya. Ayat ini merupakan ikhtisar dan intisari surat Al-Fatihah, yang merupakan ikhtisar dan intisari Al-Qur'an secara keseluruhan.
     
    Ibadah yang dimaksud oleh ayat ini adalah ibadah dalam arti yang luas, termasuk di dalamnya shalat, nadzar, menyembelih hewan kurban, juga do'a. Karena Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda,

    "Do'a adalah ibadah." (HR At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
    Sebagaimana shalat adalah ibadah yang tidak boleh ditujukan kepada rasul atau wali, demikian pula halnya dengan do'a. Ia adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah semata. Allah ber-firman,
    "Katakanlah, 'Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun denganNya." (Al-Jin: 20)
     
    Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda,

    "Do'a yang dibaca oleh Nabi Dzin Nun (Yunus) ketika berada dalam perut ikan adalah, 'Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim.' Tidaklah seorang muslim berdo'a dengannya untuk (meminta) sesuatu apapun, kecuali Allah akan mengabulkan padanya." (Hadits shahih menurut Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
    MEMOHON PERTOLONGAN HANYA KEPADA ALLAH
    Nabi  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda,

    "Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah dan jika eng-kau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan Kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
    Imam Nawawi dan Al-Haitami telah memberikan penjelasan terhadap makna hadits ini, secara ringkas penjelasan tersebut sebagai berikut, "Jika engkau memohon pertolongan atas suatu urusan, baik urusan dunia maupun akhirat maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Apalagi dalam urusan-urusan yang tak seorang pun kuasa atasnya selain Allah. Seperti menyembuhkan penyakit, mencari rizki dan petunjuk. Hal-hal tersebut merupakan perkara yang khusus Allah sendiri yang kuasa." Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
     "Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu maka tidak ada yang dapat menghilangkannya melainkan Dia sendiri." (A1-An'am: 17)
     
    Barangsiapa menginginkan hujjah (argumentasi/dalil) maka cukup baginya Al-Qur'an, barangsiapa menginginkan seorang peno-long maka cukup baginya Allah, barangsiapa menginginkan seorang penasihat maka cukup baginya kematian. Barangsiapa merasa belum cukup dengan hal-hal tersebut maka cukup Neraka baginya. Allah berfirman,
    "Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya?" (Az-Zumar: 36)
     
    Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitab Al-Fathur Rabbani berkata, "Mintalah kepada Allah dan jangan meminta kepada selain-Nya. Mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan memohon per-tolongan kepada selainNya. Celakalah kamu, di mana kau letakkan mukamu kelak (ketika menghadap Allah di akhirat), jika kamu me-nentangNya di dunia, berpaling daripadaNya, menghadap (meminta dan menyembah) kepada makhlukNya serta menyekutukanNya. Engkau keluhkan kebutuhan-kebutuhanmu kepada mereka. Engkau bertawakkal (menggantungkan diri) kepada mereka. Singkirkanlah perantara-perantara antara dirimu dengan Allah. Karena ketergan-tunganmu kepada perantara-perantara itu suatu kepandiran. Tidak ada kerajaan, kekuasaan, kekayaan dan kemuliaan kecuali milik Allah Subhanahu Wa Ta'ala . Jadilah kamu orang yang selalu bersama Allah, jangan bersama makhluk (maksudnya, bersama Allah dengan berdo'a kepadaNya tanpa perantara melalui makhlukNya).
     
    Memohon pertolongan yang disyari'atkan Allah adalah dengan hanya memintanya kepada Allah agar Ia melepaskanmu dari berbagai kesulitan yang engkau hadapi.

    Adapun memohon pertolongan yang tergolong syirik adalah dengan memintanya kepada selain Allah. Misalnya kepada para nabi dan wali yang telah meninggal atau kepada orang yang masih hidup tetapi mereka tidak hadir. Mereka itu tidak memiliki manfaat atau mudharat, tidak mendengar do'a, dan kalau pun mereka mendengar tentu tak akan mengabulkan permohonan kita. Demikian seperti dikisahkan oleh Al-Qur'an tentang mereka.

    Adapun meminta pertolongan kepada orang hidup yang hadir untuk melakukan sesuatu yang mereka mampu, seperti membangun masjid, memenuhi kebutuhan atau lainnya maka hal itu dibolehkan. Berdasarkan firman Allah,
    "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa." (Al-Ma'idah: 2)

    Dan sabda Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam ,

    "Allah (akan) memberikan pertolongan kepada hamba, selama hamba itu memberikan pertolongan kepada saudaranya." (HR. Muslim)

    Di antara contoh meminta pertolongan kepada orang hidup yang dibolehkan adalah seperti dalam firman Allah,
    "… maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang dari musuhnya …". (Al-Qashash: 15)

    Juga firman Allah yang berkaitan dengan Dzul Qarnain,
     "… maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat) …". (Al-Kahfi: 95) 
     
    MAKNA "AR-RAHMAANU 'ALAL  'ARSYIS TAWA"
    Banyak sekali ayat dan hadits serta ucapan ulama salaf yang menegaskan bahwa Allah berada dan bersemayam di atas.
    Firman Allah,
     "KepadaNyalah perkataan-perkataan yang baik naik dan amal yang shalih dinaikkanNya." (Al-Faathir: 10)
     

    Firman Allah,
     "Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan." (Al-Ma'aarij: 3-4)
     

    Firman Allah,
    "Sucikanlah Nama Tuhanmu Yang Mahatinggi." (Al-A'la:1)
     

    FirmanAllah,
    "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy." (Thaaha: 5).
     

    Dalam Kitab Tauhid, Imam Al-Bukhari menukil dari Abu Aliyah dan Mujahis tentang tafsir istawa, yaitu 'ala wartafa'a (berada diatas).
     

    Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam berkhutbah pada hari Arafah, saat haji wada', dengan menyerukan,
    "Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan?" Mereka menja-wab, "Ya, benar". Lalu beliau mengangkat (menunjuk) dengan jari-jarinya ke atas, selanjutnya beliau mengarahkan jari-jarinya ke arah manusia seraya bersabda, "Ya Allah, saksikanlah." (HR. Muslim).
     

    Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda,

    "Sesungguhnya Allah telah menulis suatu kitab (tulisan) sebelum Ia menjadikan makhluk (berupa), sesungguhnya rahmatKu men-dahului murkaKu, ia tertulis di sisiNya di atas 'Arsy." (HR. Al-Bukhari)
     

    Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda,

    "Apakah engkau tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit? Setiap pagi dan sore hari datang kepadaku kabar dari langit." (Muttafaq Alaih)
     

    Al-Auza'i berkata, "Kami bersama banyak tabi'in berkata, 'Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung sebutanNya (berada) di atas 'Arsy, dan kami beriman pada sifat-sifatNya sebagaimana yang ter-dapat dalam sunnah Rasulullah'." (HR. Al-Baihaqi dengan sanad shahih)
     

    Imam Syafi'i berkata, "Sesungguhnya Allah bersemayam di atas 'Arsy langitNya. Ia mendekati makhlukNya sekehendakNya dan Allah turun ke langit dunia dengan sekehendakNya."
     

    Imam Abu Hanifah berkata, "Barangsiapa mengatakan, 'Aku tidak mengetahui apakah Tuhanku berada di langit atau bumi?' maka dia telah kafir." Sebab Allah
    Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
     "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy." (Thaha: 5)

    'Arsy Allah berada di atas tujuh langit. Jika seseorang berkata bahwasanya Allah berada di atas 'Arsy, tetapi ia berkata, "Aku tidak tahu apakah 'Arsy itu berada di atas langit atau di bumi?" Maka dia telah kafir. Sebab dia mengingkari bahwa 'Arsy berada di atas langit. Barangsiapa mengingkari bahwa 'Arsy berada di atas langit maka dia telah kafir, karena sesungguhnya Allah adalah paling tinggi di atas segala sesuatu yang tinggi. Dia dimohon dari tempat yang tertinggi, bukan dari tempat yang paling bawah.
     

    Imam Malik ditanya tentang cara istiwa' (bersemayamnya Allah) di atas 'ArsyNya, ia lalu menjawab, "lstiwa' itu telah dipahami pengertiannya, sedang cara (visualisasinya) tidak diketahui, iman dengannya adalah wajib, dan pertanyaan tentangnya adalah bid'ah (maksudnya, tentang visualisasinya). Usirlah tukang bid'ah ini.
     

    Tidak boleh menafsirkan istiwa' (bersemayam di atas) de-ngan istawla (menguasai), karena keterangan seperti itu tidak di-dapatkan dalam riwayat orang-orang salaf. Metode orang-orang salaf adalah lebih selamat, lebih ilmiah dan lebih bijaksana.

    Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang Yahudi agar mengatakan hiththa-tun (bebaskanlah kami dari dosa), tetapi mereka mengatakan hintha-tun (biji gandum) dengan niat membelokkan dan menyelewengkan-nya.

    Dan Allah memberitakan kepada kita bahwa Dia 'Alal 'arsyistaa "bersemayam di atas 'Arsy", tetapi para tukang takwil mengatakan istawlaa "menguasai".

    Perhatikanlah, betapa persis penambahan "lam" yang mereka lakukan Istawaa menjadi Istawlaa dengan penambahan "nun" yang dilakukan oleh orang- orangYahudi "hiththatun" menjadi " Hinthatun" (nukilan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyah).

    Di samping pentakwilan mereka dengan "istawla" merupakan pembelokan dan penyimpangan, pentakwilan itu juga memberikan asumsi (anggapan) bahwa Allah menguasai 'Arsy dari orang yang menentang dan ingin merebutnya. Juga memberi asumsi bahwa 'Arsy itu semula bukan milikNya, lalu Allah menguasai dan merebutnya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka takwilkan.
     
     
    URGENSI TAUHID
    Sesungguhnya Allah menciptakan segenap alam agar mereka menyembah kepadaNya. Mengutus para rasul untuk menyeru semua manusia agar mengesakanNya. Al-Qur'anul Karim dalam ba-nyak suratnya menekankan tentang arti pentingnya aqidah tauhid. Menjelaskan bahaya syirik atas pribadi dan jama'ah. Dan syirik meru-pakan penyebab kehancuran di dunia serta keabadian di dalam Neraka.
     

    Semua para rasul memulai dakwah (ajakan)nya kepada tau-hid. Hal ini merupakan perintah Allah yang harus mereka sampaikan kepada umat manusia. Allah I berfirman:

    "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, 'Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'." (Al-Anbiyaa': 25)

    Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam tinggal di kota Makkah selama tiga belas tahun. Selama itu, beliau mengajak kaumnya untuk mengesakan Allah, me-mohon kepadaNya semata, tidak kepada yang lain. Di antara wahyu yang diturunkan kepada beliau saat itu adalah:
    "Katakanlah, 'Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun denganNya' (Al-Jin: 20)

    Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam mendidik para pengikutnya kepada tauhid sejak kecil. Kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas, beliau bersabda,

    "Bila kamu meminta, mintalah kepada Allah dan bila kamu me-mohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
    Tauhid inilah yang di atasnya didirikan hakikat ajaran Islam. Dan Allah tidak menerima seseorang yang mempersekutukanNya.
     

    Rasulullah   Shalallahu Alaihi Wa Salam mendidik para sahabatnya agar memulai dak-wah kepada umat manusia dengan tauhid. Ketika mengutus Mu'adz ke Yaman sebagai da'i, beliau bersabda:

    "Hendaknya yang pertama kali kamu serukan mereka adalah bersaksi, 'Sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disem-bah) kecuali Allah,' Dalam riwayat lain disebutkan, 'Agar mere-ka mengesakan Allah'." (Muttafaq 'alaih)
     

    Sesungguhnya tauhid tercermin dalam kesaksian bahwa ti-dak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Maknanya, tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan tidak ada ibadah yang benar kecuali apa yang di bawa oleh Rasulullah r. Kalimat syahadat ini bisa memasukkan orang kafir ke dalam agama Islam, karena ia adalah kunci Surga. Orang yang mengikrarkannya akan masuk Surga selama ia tidak dirusak dengan sesuatu yang bisa membatalkannya, misalnya syirik atau kalimat kufur.
     

    Orang-orang kafir Quraisy pernah menawarkan kepada Ra-sulullah r kekuasaan, harta benda, isteri dan hal lain dari kesenangan dunia, tetapi dengan syarat beliau meninggalkan dakwah kepada tauhid dan tak lagi menyerang berhala-berhala. Rasulullah tidak me-nerima semua tawaran itu dan tetap terus melanjutkan dakwahnya. Maka tak mengherankan, dengan sikap tegas itu, beliau bersama sege-nap sahabatnya menghadapi banyak gangguan dan siksaan dalam per-juangan dakwah, sampai datang pertolongan Allah dengan keme-nangan dakwah tauhid. Setelah berlalu masa tiga belas tahun, kota Makkah ditaklukkan, berhala-berhala dihancurkan. Ketika itulah beli-au membaca ayat:

    "Dan katakanlah yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." (Al-Israa': 81)
     

    Tauhid adalah tugas setiap muslim dalam hidupnya. Seorang muslim memulai hidupnya dengan tauhid. Meninggalkan hidup ini pula dengan tauhid. Tugasnya di dalam hidup adalah berdakwah dan menegakkan tauhid. Tauhid mempersatukan orang-orang beriman, menghimpun mereka dalam satu wadah kalimat tauhid. Kita memo-hon kepada Allah, semoga menjadikan kalimat tauhid sebagai akhir dari ucapan kita di dunia, serta mempersatukan umat Islam dalam satu wadah kalimat tauhid. Amin.
    A. KEUTAMAAN TAUHID
    Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
    "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-An'am: 82)

    Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan, "Ketika ayat ini turun, banyak umat Islam yang merasa sedih dan berat. Mereka berkata siapa di antara kita yang tidak berlaku zhalim kepada dirinya sendiri? Lalu Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam menjawab:

    "Yang dimaksud bukan (kezhaliman) itu, tetapi syirik. Belumkah kalian mendengar nasihat Luqman kepada puteranya, "Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) benar-benar suatu kezhaliman yang besar" (Luqman: 13) (Mutafaq Alaih)

    Ayat ini memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengesakan Allah. Orang-orang yang tidak mencampur adukkan antara keimanan dengan syirik. Serta menjauhi segala bentuk per-buatan syirik. Sungguh mereka akan mendapatkan keamanan yang sempurna dari siksaan Allah di akhirat. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk di dunia.
     

    Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda:

    "Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah 'Laa Ilaaha Illallah'dan cabang paling rendah adalah menyingkirkan kotoran dari jalan." (HR. Muslim)
    B. TAUHID PENGANTAR BAHAGIA DAN PELEBUR DOSA
    Dalam kitab Dalilul Muslim fil I'tiqaadi wat Tathhiir karya Syaikh Abdullah Khayyath dijelaskan, "Dengan kemanusiaan dan ke-tidakmaksumannya, setiap manusia berkemungkinan terpeleset, terje-rumus dalam maksiat kepada Allah."
    Jika dia adalah seorang ahli tauhid yang murni dari kotoran-kotoran syirik maka tauhidnya kepada Allah, serta ikhlasnya dalam mengucapkan "Laa ilaaha illallah" menjadi penyebab utama bagi kebahagiaan dirinya, serta menjadi penyebab bagi penghapusan dosa-dosa dan kejahatannya. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah :
    "Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya, dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya, dan kalimatNya yang disampaikanNya kepada Maryam serta ruh daripadaNya, dan (bersaksi pula bahwa) Surga adalah benar adanya dan Neraka pun benar adanya maka Allah pasti memasukkannya ke dalam Surga, apapun amal yang diperbuatnya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
    Maksudnya, segenap persaksian yang dilakukan oleh seorang muslim sebagaimana terkandung dalam hadits di atas mewajibkan dirinya masuk Surga, tempat segala kenikmatan. Sekalipun dalam sebagian amal perbuatannya terdapat dosa dan maksiat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits qudsi, Allah I berfirman:
    "Hai anak Adam, seandainya engkau datang kepadaKu dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika menemuiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu sedikitpun, niscaya Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula." (HR. At-Tirmidzi dan Adh-Dhayya', hadits hasan)
    Maknanya, seandainya engkau datang kepadaKu dengan dosa dan maksiat yang banyaknya hampir sepenuh bumi, tetapi engkau meninggal dalam keadaan bertauhid, niscaya aku ampuni segala dosa-dosamu itu.
    Dalam hadits lain disebutkan:
    "Barangsiapa meninggal dunia (dalam keadaan) tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun, niscaya akan masuk Surga. Dan barangsiapa meninggal dunia (dalam keadaan) berbuat syirik kepada Allah, niscaya akan masuk Neraka." (HR. Muslim)
    Hadits-hadits di atas menegaskan tentang keutamaan tauhid. Tauhid merupakan faktor terpenting bagi kebahagiaan seorang hamba. Tauhid juga merupakan sarana yang paling agung untuk melebur dosa-dosa dan maksiat.
    C. MANFAAT TAUHID
    Jika tauhid yang murni terealisasi dalam hidup seseorang, baik secara pribadi maupun jama'ah, niscaya akan menghasilkan buah yang amat manis. Di antara buah yang didapat adalah:
    • Memerdekakan manusia dari perbudakan serta tunduk kepada selain Allah, baik benda-benda atau makhluk lainnya:

      Semua makhluk adalah ciptaan Allah. Mereka tidak kuasa untuk menciptakan, bahkan keberadaan mereka karena diciptakan. Mereka tidak bisa memberi manfaat atau bahaya kepada dirinya sendiri. Tidak mampu mematikan, menghidupkan atau membangkitkan.

      Tauhid memerdekakan manusia dari segala perbudakan dan penghambaan kecuali kepada Tuhan yang menciptakan dan membuat dirinya dalam bentuk yang sempurna. Memerdekakan hati dari tun-duk, menyerah dan menghinakan diri. Memerdekakan hidup dari ke-kuasaan para Fir'aun, pendeta dan dukun yang menuhankan diri atas hamba-hamba Allah.

      Karena itu, para pembesar kaum musyrikin dan thaghut-thaghut jahiliyah menentang keras dakwah para nabi, khususnya dakwah Rasulullah
       Shalallahu Alaihi Wa Salam . Sebab mereka mengetahui makna laa ilaaha illallah sebagai suatu permakluman umum bagi kemerdekaan manusia. Ia akan menggulingkan para penguasa yang zhalim dan angkuh dari singgasana dustanya, serta meninggikan derajat orang-orang beriman yang tidak bersujud kecuali kepada Tuhan semesta alam.
       
    • Membentuk kepribadian yang kokoh:

      Tauhid membantu dalam pembentukan kepribadian yang kokoh. Ia menjadikan hidup dan pengalaman seorang ahli tauhid begitu isti-mewa. Arah hidupnya jelas, tidak mempercayai Tuhan kecuali hanya kepada Allah. KepadaNya ia menghadap, baik dalam kesendirian atau ditengah keramaian orang. Ia berdo'a kepadaNya dalam keadaan sempit atau lapang.

      Berbeda dengan seorang musyrik yang hatinya terbagi-bagi untuk tuhan-tuhan dan sesembahan yang banyak. Suatu saat ia menghadap dan menyembah kepada orang hidup, pada saat lain ia menghadap kepada orang yang mati.
      Sehubungan dengan ini, Nabi Yusuf Alaihissalam berkata:
      "Hai kedua penghuni penjara, manakah yang lebih baik tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa?" (Yusuf: 39)

      Orang mukmin menyembah satu Tuhan. Ia mengetahui apa yang membuatNya ridha dan murka. Ia akan melakukan apa yang membu-atNya ridha, sehingga hatinya tenteram. Adapun orang musyrik, ia menyembah tuhan-tuhan yang banyak. Tuhan ini menginginkannya ke kanan, sedang tuhan lainnya menginginkannya ke kiri. Ia terombang-ambing di antara tuhan-tuhan itu, tidak memiliki prinsip dan kete-tapan.
       
    1. Tauhid sumber keamanan manusia:

      Sebab tauhid memenuhi hati para ahlinya dengan keamanan dan ketenangan. Tidak ada rasa takut kecuali kepada Allah. Tauhid menutup rapat celah-celah kekhawatiran terhadap rizki, jiwa dan keluarga. Ketakutan terhadap manusia, jin, kematian dan lainnya menjadi sirna. Seorang mukmin yang mengesakan Allah hanya takut kepada satu, yaitu Allah. Karena itu, ia merasa aman ketika manusia ketakutan, serta merasa tenang ketika mereka kalut.
      Hal itu diisyaratkan oleh Al-Qur'an dalam firmanNya:
      "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-An'am: 82)

      Keamaan ini bersumber dari dalam jiwa, bukan oleh penjaga-penjaga polisi atau pihak keamanan lainnya. Dan keamanan yang dimaksud adalah keamanan dunia. Adapun keamanan akhirat maka lebih besar dan lebih abadi mereka rasakan.
      Yang demikian itu mereka peroleh, sebab mereka mengesakan Allah, mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah dan tidak mencam-puradukkan tauhid mereka dengan syirik, karena mereka mengetahui, syirik adalah kazhaliman yang besar.
       
    • Tauhid sumber kekuatan jiwa:

      Tauhid memberikan kekuatan jiwa kepada pemiliknya, karena jiwanya penuh harap kepada Allah, percaya dan tawakkal kepadaNya, ridha atas qadar (ketentuan)Nya, sabar atas musibahNya, serta sama sekali tak mengharap sesuatu kepada makhluk. Ia hanya menghadap dan meminta kepadaNya. Jiwanya kokoh seperti gunung. Bila datang musibah ia segera mengharap kepada Allah agar dibebaskan darinya. Ia tidak meminta kepada orang-orang mati. Syi'ar dan semboyannya adalah sabda Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam :

      "Bila kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Dan bila kamu memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
      Dan firman Allah
       Shalallahu Alaihi Wa Salam :
      "Jika Allah menimpakan kemudharatan kepadamu maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri." (Al-An'am: 17)
       
    • Tauhid dasar persaudaraan dan persamaan:

      Tauhid tidak membolehkan pengikutnya mengambil tuhan-tuhan selain Allah di antara sesama mereka. Sifat ketuhanan hanya milik Allah satu-satunya dan semua manusia wajib beribadah kepadaNya. Segenap manusia adalah hamba Allah, dan yang paling mulia di antara mereka adalah Muhammad r.
    D. MUSUH-MUSUH TAUHID
     Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
    "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh. Yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)." (Al-An'am: 112)
    Di antara hikmah dan kebijaksanaan Allah adalah menjadikan bagi para nabi dan du'at tauhid musuh-musuh dari jenis setan-setan jin yang membisikkan kesesatan, kejahatan dan kebatilan kepada setan-setan dari jenis manusia. Hal itu untuk menyesatkan dan menghalangi mereka dari tauhid yang merupakan dakwah utama dan pertama para nabi kepada kaumnya.
    Sebab tauhid merupakan asas penting yang di atasnya dibangun dakwah Islam. Anehnya, sebagian orang berasumsi, dakwah kepada tauhid hanya akan memecah belah umat. Padahal justru sebaliknya, tauhid akan mempersatukan umat. Sungguh namanya saja (tauhid berarti mengesakan, mempersatukan) menunjukkan hal itu.
    Adapun orang-orang musyrik yang mengakui tauhid rububiyah, dan bahwa Allah pencipta mereka, mereka mengingkari tauhid uluhiyah dalam berdo'a kepada Allah semata, dengan tidak mau meninggalkan berdo'a kepada wali-wali mereka. Kepada Rasulullah r yang mengajak mereka mengesakan Allah dalam ibadah dan do'a, mereka berkata:
    "Mengapa dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan." (Shaad: 5)
     Tentang umat-umat terdahulu Allah berfirman:
    "Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengata-kan, 'Dia itu adalah seorang tukang sihir atau orang gila.' Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas," (Adz-Dzaariyaat: 52-53)
     Di antara sifat kaum musyrikin adalah jika mereka mendengar seruan kepada Allah semata, hati mereka menjadi kesal dan melarikan diri, mereka kufur dan mengingkarinya. Tetapi jika mendengar syirik dan seruan kepada selain Allah, mereka senang dan berseri-seri. Allah menyifati orang-orang musyrik itu dengan firmanNya:
    "Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, dan apabila nama sesembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati." (Az-Zumar: 45)
     Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
    "Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja yang disembah. Dan kamu percaya apabila Allah diperseku-tukan. Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar," (Ghaafir: 12)
    Ayat-ayat di atas meski ditujukan kepada orang-orang kafir, teta-pi bisa juga berlaku bagi setiap orang yang memiliki sifat seperti orang-orang kafir. Misalnya mereka yang mendakwahkan dirinya sebagai orang Islam, tetapi memerangi dan memusuhi seruan tauhid, membuat fitnah dusta kepada mereka, bahkan memberi mereka julukan-julukan yang buruk. Hal itu dimaksudkan untuk menghalangi manusia menerima dakwah mereka, serta menjauhkan manusia dari tauhid yang karena itu Allah mengutus para rasul.
    Termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang yang jika men-dengar do'a kepada Allah hatinya tidak khusyu'. Tetapi jika men-dengar do'a kepada selain Allah, seperti meminta pertolongan kepada rasul atau para wali, hati mereka menjadi khusyu' dan senang. Sung-guh alangkah buruk apa yang mereka kerjakan.
    E. SIKAP ULAMA TERHADAP TAUHID
    Ulama adalah pewaris para nabi, Dan menurut keterangan Al-Qur'an, yang pertama kali diserukan oleh para nabi adalah tauhid, sebagaimana disebutkan Allah dalam firmanNya:
    "Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), 'Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut," (An-Nahl: 36)
    Karena itu wajib bagi setiap ulama untuk memulai dakwahnya sebagaimana para rasul memulai. Yakni pertama kali menyeru manu-sia kepada mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadatan. Terutama dalam hal do'a, sebagaimana disabdakan Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam :
    "Do'a adalah ibadah". (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits ha-san shahih)
     Saat ini kebanyakan umat Islam terjerumus ke dalam perbuatan syirik dan berdo'a (memohon) kepada selain Allah. Hal inilah yang menyebabkan kesengsaraan mereka dan umat-umat terdahulu. Allah membinasakan umat-umat terdahulu karena mereka berdo'a dan ber-ibadah kepada selain Allah, seperti kepada para wali, orang-orang sha-lih dan sebagainya.
     Adapun sikap ulama terhadap tauhid dan dalam memerangi syi-rik, terdapat beberapa tingkatan:
    • Tingkatan paling utama:

      Mereka adalah ulama yang memahami tauhid, memahami arti penting tauhid dan macam-macamnya. Mereka mengetahui syirik dan macam-macamnya. Selanjutnya para ulama itu melaksanakan kewa-jiban mereka: menjelaskan tentang tauhid dan syirik kepada manusia dengan menggunakan hujjah (dalil) dari Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits shahih . Para ulama tersebut, tak jarang –sebagaimana para nabi– dituduh dengan berbagai macam tuduhan bohong, tetapi mereka sabar dan tabah. Syi'ar dan semboyan mereka adalah firman Allah:
      "Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." (Al-Muzammil: 10)

      Dahulu kala, Luqmanul Hakim mewasiatkan kepada putranya, seperti dituturkan dalam firman Allah:
      "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) menger-jakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (Luqman: 17)
       
    • Tingkatan kedua:

      Mereka adalah ulama yang meremehkan dakwah kepada tauhid yang menjadi dasar agama Islam. Mereka merasa cukup mengajak manusia mengerjakan shalat, memberikan penjelasan hukum dan ber-jihad, tanpa berusaha meluruskan aqidah umat Islam. Seakan mereka belum mendengar firman Allah
      Subhanahu Wa Ta'ala:
      "Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (Al-An'am: 88)

      Seandainya mereka dahulu mengajak kepada tauhid sebelum mendakwahkan kepada yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh para rasul, tentu dakwah mereka akan berhasil dan akan mendapat pertolongan dari Allah, sebagaimana Allah telah memberikan perto-longan kepada para rasul dan nabiNya. Allah  berfirman:
      "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nuur: 55)
      Karena itu, syarat paling asasi untuk mendapatkan pertolongan Allah adalah tauhid dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.
       
    • Tingkatan ketiga:

      Mereka adalah ulama dan du'at yang meninggalkan dakwah ke-pada tauhid dan memerangi syirik, karena takut ancaman manusia, atau takut kehilangan pekerjaan dan kedudukan mereka. Karena itu menyembunyikan ilmu yang diperintahkan Allah agar mereka sampai-kan kepada manusia. Bagi mereka adalah firman Allah:
      "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan (yang jelas) dan petun-juk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati." (Al-Baqarah: 159)

      Semestinya para du'at adalah sebagaimana difirmankan Allah:
      "(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepadaNya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah," (Al-Ahzab: 39)
      Dalam kaitan ini Rasulullah
       Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda:
      "Barangsiapa menyembunyikan ilmu, niscaya Allah akan menge-kangnya dengan kekang dari api Neraka." (HR. Ahmad, hadits shahih)
       
    • Tingkatan keempat:

      Mereka adalah golongan ulama dan para syaikh yang menentang dakwah kepada tauhid dan menentang berdo'a semata-mata kepada Allah. Mereka menentang seruan kepada peniadaan do'a terhadap selain Allah, dari para nabi, wali dan orang-orang mati. Sebab mereka membolehkan yang demikian.

      Mereka menyelewengkan ayat-ayat ancaman berdo'a kepada se-lain Allah hanya untuk orang-orang musyrik. Mereka beranggapan, tidak ada satu pun umat Islam yang tergolong musyrik. Seakan-akan mereka belum mendengar firman Allah:

      "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-An'am: 82)
      Dan kezhaliman di sini artinya syirik, dengan dalil firman Allah:
      "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar." (Luqman: 13)

      Menurut ayat ini, seorang muslim bisa saja terjerumus kepada perbuatan syirik. Hal yang kini kenyataannya banyak terjadi di negara-negara Islam.
      Kepada orang-orang yang membolehkan berdo'a kepada selain Allah, mengubur mayit di dalam masjid, thawaf mengelilingi kubur, nadzar untuk para wali dan hal-hal lain dari perbuatan bid'ah dan mungkar, kepada mereka Rasulullah
      r memperingatkan:
      "Sesungguhnya aku sangat takutkan atas umatku (adanya) pemimpin-pemimpin yang menyesatkan." (Hadits shahih, riwayat At-Tirmidzi)

      Salah seorang Syaikh Universitas Al-Azhar terdahulu, pernah ditanya tentang bolehnya shalat atau memohon ke kuburan, kemudian syaikh tersebut berkata, "Mengapa tidak dibolehkan shalat (memohon) ke kubur, padahal Rasulullah
      r di kubur di dalam masjid, dan orang-orang shalat (memohon) ke kuburannya?"
      Syaikh Al-Azhar menjawab: "Harus diingat, bahwa Rasulullah
       Shalallahu Alaihi Wa Salam tidak dikubur di dalam masjidnya, tetapi beliau dikubur di rumah Aisyah. Dan Rasulullah melarang shalat (memohon) ke kuburan. Dan sebagian dari do'a Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam adalah:

      "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat." (HR. Muslim)
      Maksudnya, yang tidak aku beritahukan kepada orang lain, dan yang tidak aku amalkan, serta yang tidak menggantikan akhlak-akhlakku yang buruk menjadi baik. Demikian menurut keterangan Al-Manawi.
       
    • Tingkatan kelima:

      Mereka adalah orang-orang yang mengambil ucapan-ucapan guru dan syaikh mereka, dan menta'atinya meskipun dalam maksiat kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang melanggar sabda Rasulullah :

      "Tidak (boleh) ta'at (terhadap perintah) yang di dalamnya terda-pat maksiat kepada Allah, sesungguhnya keta'atan itu hanyalah dalam kebajikan." (HR. Al-Bukhari)

      Pada hari Kiamat kelak, mereka akan menyesal atas keta'atan mereka itu, hari yang tiada berguna lagi penyesalan. Allah meng-gambarkan siksaNya terhadap orang-orang kafir dan mereka berjalan di atas jalan kufur, dalam firmanNya:
      "Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam Neraka, mereka berkata, 'Alangkah baiknya, andaikata kami ta'at kepada Allah dan ta'at (pula) kepada Rasul.' Dan mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta'ati pemimpin-pe-mimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar." (Al-Ahzab: 66-68)

      Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata, "Kami mengikuti para pemimpin dan pembesar dari para syaikh dan guru kami, dengan melanggar keta'atan kepada para rasul. Kami mempercayai bahwa mereka memiliki sesuatu, dan berada di atas sesuatu, tetapi kenyata-annya mereka bukanlah apa-apa."
     
     
     
    PERANG ANTARA TAUHID DENGAN SYIRIK
     
    Perang antara tauhid dengan syirik telah terjadi sejak lama. Sejak zaman Nabi Nuh AlaihisSalam menyeru kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada berhala-berhala.
    Nabi Nuh berada di tengah kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun. Beliau menyeru kaumnya kepada tauhid, tetapi peneri-maan mereka sungguh di luar harapan. Secara jelas Al-Qur'an meng-gambarkan penolakan mereka, dalam firmanNya:
    "Dan mereka berkata, 'Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghust, ya'uq dan nasr." Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia)." (Nuh: 23-24)
    Tentang tafsir ayat ini, Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas , dia berkata:
    • Ini adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaumnya agar mereka membuat patung orang-orang shalih tersebut di tempat-tempat duduk mereka, dan agar memberinya nama sesuai dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukan perintah setan tersebut. Pada awalnya, patung-patung itu tidak disembah. Tetapi ketika mereka semua sudah binasa dan ilmu telah diangkat, mulailah patung-patung itu disembah.
       
    • Selanjutnya datanglah para rasul sesudah Nabi Nuh. Mereka menyeru kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah semata, dan agar meninggalkan apa yang mereka sembah selain Allah, sebab me-reka tidak berhak untuk disembah. Renungkanlah Al-Qur'anul Karim yang menceritakan tentang keadaan mereka:

      "Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selainNya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadaNya?." (Al-A'raaf: 65)

      "Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Shalih berkata, "Hai kaumku, sembahlah Allah sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia." (Huud: 61)

      "Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata, "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia." (Huud: 84)

      "Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku." (Az-Zukhruf: 26-27)

      Terhadap dakwah para nabi tersebut, kaum musyrikin merespon-nya dengan penentangan dan pengingkaran terhadap apa yang mereka bawa. Orang-orang musyrik itu memerangi para rasul dengan segala kemampuan yang mereka miliki.
       
    • Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam misalnya, sebelum diutus sebagail rasul, beliau terkenal di kalangan orang-orang Arab dengan julukan "ash-shaa-diqul amiin" (yang jujur dan dapat dipercaya). Tetapi tatkala beliau mengajak kaumnya menyembah kepada Allah dan mengesakanNya, serta menyeru agar meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang mereka, serta merta mereka lupa dengan sifat jujur dan amanah beliau. Lalu mereka menghujaninya dengan berbagai julukan buruk. Di antaranya ada yang menjuluki beliau dengan "ahli sihir lagi pendusta". Al-Qur'an mengisahkan penolakan mereka terhadap dak-wah tauhid dalam firmanNya:

      "Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, 'Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak dusta. Me-ngapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Se-sungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengheran-kan." (Shaad: 4-5)
      "Demikianlah tidak ada seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengata-kan. "Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenar-nya mereka adalah kaum yang melampaui batas." (Adz-Dzaari-yaat: 52-53)

      Demikianlah itulah sikap segenap rasul dalam dakwahnya kepada tauhid. Dan sebagaimana gambaran ayat-ayat di atas itulah sikap kaum mereka yang pendusta lagi mengada-mengada.
       
    • Pada zaman kita saat ini, jika seorang muslim mengajak sesama saudara muslim lainnya kepada akhlak, kejujuran dan amanah, ia tidak akan menemukan orang yang menentangnya.

      Berbeda halnya jika ia mengajak mereka kepada tauhid yang ke-padanya para rasul menyeru –yaitu berdo'a (memohon) hanya semata-mata kepada Allah dan tidak memohon kepada selainNya, baik kepada para nabi atau wali, karena sesungguhnya mereka hanyalah hamba Allah–, niscaya orang-orang segera menentangnya dan menuduhnya dengan berbagai tuduhan dusta. Mungkin mereka akan dituduh wahabi, dengan maksud untuk membendung manusia dari dakwah kepada tauhid.

      Jika sang da'i mengetengahkan ayat yang didalamnya terdapat ajakan kepada tauhid, mereka tak segan-segan menuduh dengan me-ngatakan, "Ini ayat wahabi". Manakala sang da'i membawakan hadits:

      Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah dan jika kamu mohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

      Maka serta-merta sebagian mereka akan mengatakan, "Itu hadits wahabi."
      Bila seseorang shalat dengan meletakkan tangan di atas dada, atau menggerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud , sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam , maka sebagian orang akan menga-takan sebagai orang wahabi.

      Kata wahabi seakan menjadi simbol bagi setiap orang yang mengesakan Allah, yang hanya menyembah Tuhan Yang Satu, dan mengikuti sunnah nabiNya.
      Sesungguhnya wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi). Ia adalah salah satu dari nama-nama Allah Yang Paling Baik. Berarti Dialah yang memberikan kepadanya tauhid, yang merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi orang-orang yang mengesakan Allah.
       
    • Para du'at kepada tauhid hendaknya sabar dan meneladani Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam , yang kepadanya Allah berfirman:

      "Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." (Al-Muzammil: 10)
      "Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka." (Al-Insaan: 24)

      Setiap orang Islam hendaknya menerima dakwah kepada tauhid, serta mencintai pada
      da'inya. Karena sesungguhnya tauhid adalah dakwah para rasul secara keseluruhan, juga dakwah Rasul kita Mu-hammad
      r. Maka barangsiapa mencintai Rasul  Shalallahu Alaihi Wa Salam , niscaya dia akan mencintai dakwah kepada tauhid dan barangsiapa membenci kepada dakwah tauhid, maka berarti ia telah membenci Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wa Salam.

    Oleh: Ustadz Ahmad Afwan Abdurrahman,Lc.MA
    Sebagai seorang mu’min kita wajib mengetahui 3 dasar dalam beraqidah dan ber Islam denganbenar, yaitu:
    1. Mengenal Allah Azza Wa Jalla (Ma’rifatullah)
    Yaitu dengan mentaati segal perintahnya danmenjauhi segala larangannya.
    2. Mengenal Islam (Ma’rifatul Islam)
    Yaitu dengan mempelajari Islam itu dengan benar beserta dalil-dalilnya.
    3. Mengenal Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam
    Yaitu dengan mengenal sunnah-sunnahnya.
    Denganmengetahui dan mengamalkan 3 landasan pokok diatas kita dapat selamat baik didunia maupun diakhirat.
    Dalam mengenal Allah Orang–orang sufi menanggap bahwa ma’rifatullah yang ada dalam hatinya sebagai ru’yatullah melihat allah dengan mata kepala. Padahal terkadang syaitan membayang-bayanginya dan mengatakan bahwa dirinyalah adalah tuhan (Widhatul wujud). Dan mereka salah kaprah dalam memahami ma’rifatullah. Hal inilah yang dipahami oleh orang-orang tasawuf.
    Dan pemahaman sesat dan menyesatkan ini telah dijelaskan dalam Al qur’an, dimana Allah berfirman:
    “ Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan dialah yang mah mendengar lagi maha melihat.”(Asy-Syu’ara:11)
    Orang-orang tasawuf ini ketika telah mencapai tingkatan widhatul wujud ia menyatakan bahwasanya apa yang dia kerjakan dan lakukan adalah perbuatan Allah Azza wajalla, bahkan ia tidak pernah melakukan ibadah wajib dan perbuatan ini adalah suatu bentuk kekufuran kepada Allah Azza Wajalla.
    Adapun pemahaman yang benar dalam mengenal Allah (Ma’rifatullah) dalam mensifati-Nya adalah:
    1. Tanpa Ta’wil (Penafsiran)
    2. Tanpa Tahrif (Penyimpangan)
    3. Tanpa Ta’yif (Menanyakan bagaimana hakekatnya)
    4. Tanpa Ta’thil ( Meniadakan hakekatnya)
    5. Tanpa Tamtsil (Penyerupaan/menyamakan dengan makhluk)
    Imam Malik bin Anas rakhimakhumullah ditanya tentang cara atau keadaan istiwa (bersemayamnya Allah Azza Wa jalla), lalu Imam Malik menjawab:” Istiwa’ itu telah dipahami pengertiannya, sedang bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentanya adalah bid’ah.”
    Para Salafus shalih (para sahabat) memahami Istiwa’ tanpa di ta’wil, Tahrif, Ta’yif, Ta’thil dan tamtsil, mereka memahami dan mengenal Allah Azza Wa jalla yaitu dengan mentaati perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
    Apabila pada saat sekarang ini ada yang menanyakan bahwasanya seorang manusia itu bisa melihat Allah di dunia (Mukasyafat/pembukaan tabir Allah) itu adalah suatu kebohongan besar , padahal Allah hanya berbicara pada Rasul-Nya dengan wahyu atau di balik tabir atau perantaraan malaikat Jibril.
    Dan hal ini telah dijelaskan dalam Alqur’an, bahwasanya Allah berfirman:
    “ Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu, atau dibelakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.”(QS.Asyura :51).1
    Dan berdasarkan hadits Abi Dzar, yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syaqiq, dia berkata:
    “ Saya pernah bertanya kepada Rasulullah, apakah engkau telah melihat Allah, beliau menjawab, “Cahaya yang menghalangiku untuk melihat-Nya.”(HR.Muslim).
    Cukuplah seorang manusia itu ndikatakan sebagai pendusta apabila ia mengaku-ngaku Islam tapi tidak mau mengamalkan segala konsekuensinya.
    Bagaimana supaya kita dapat memahami Islam itu sendiri? Antara lain dengan mempelajari Al qur’an, karena dengan mempelajari Al qur’an, dapat menyelamatkan kita dari baik di dunia maupun akhirat. Serta kita tidak akan panik kalau kita membaca Al qur’an dimanapun kita berada.
    Imam Bukhari pada waktu masih kecil mengalami kebutaan pada matanya, dan yang dilakukan ibundanya untuk menyembuhkan matanya adalh dengan membaca Al qur’an setiap malam dan ibundanya selalu berdoa kepada Allah, dan lahamdulillah mata anaknya sudah bercahaya kembali.
    Ironis sekali nasib umat Islam sekarang ini, dimana kita bisa mengambil contoh dalam ilmu kedokteran, dimana penemu ilmu tersbut adalah seorang ilmuwan Islam yaitu Ibnu Sina, dimana ilmu tersebut banyak terdapat dalam Al qur’an, namun yang terjadi sekarang ini, justru ilmu kedokteran itu banyak dimanfaatkan orang-orang kuffar.
    Bagaimana kita memulai untuk mempelajari Al qur’an, yatu dengan belajar dan mengurangi perbuatan yang tidak berguna. Sebab kita berkomunikasi dengan Allah pada saat kita membaca Al qur’an , dikarenakan Al qur’an adalah wahyu dari Allah Azza Wa Jalla.
    Dan akan lebih sempurna apabila kita mempelajari Al qur’an dengan menghafal, mangkaji dan mengamalkannya, karena Allah Azza Wa Jalla berfirman:
    “ Inilah suatu kitab yang kami turunkan kepadamu, kami telah restui agar mereka mengkaji ayat-ayat-Nya dan supaya dijadikan peringatan bagi orang-orang yang berfikir.”(QS:Shaad :29).
    Kita berkomunikasi dengan Allah Azza wa Jalla pada saat kita membaca Al qur’an dikarenakan Al qur’an adalah wahyu dari Allah Azza Wa Jalla.
    Inilah kelebihan dari pengamalan 3 landasan pokok dalam Islam, serta dengan mempelajari Ad Dien (Agama), dimana rasulullah bersabda:
    “Barang siapa yang didatangkan kebaikan oleh Allah, maka Dia akan membuat orang itu mengerti agama.”
     

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar