Rabu, 16 Februari 2011

Tentang Pewarisan


A. Sejarah Singkat Tentang Pewarisan
  1. I.     Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman Jahiliyah)
Orang-orang Arab Jahiliyah adalah salah satu bangsa yang gemar mengembara dan senang berperang. Kehidupan mereka, sedikit banyak, tergantung kepada hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukkan. Di samping itu juga mereka berdagang rempah-rempah.
Dalam bidang pembagian harta warisan mereka berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menurut ketentuan yang telah berlaku, bahwa anak yang belum dewasa dan anak perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang meninggal itu pun dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa Jahiliyyah ada tiga macam:
  1. Adanya pertalian kerabat (القرية)
Pertalian kekerabatan belum dianggap memadai untuk mendapat warisan dan yang paling penting adalah kuat jasmani untuk membela dan mempertahankan keluarga dan kabilah (suku) dari serangan pihak lain. Dengan demikian, para ahli waris pada zaman Jahiliyyah dari golongan kerabat terdiri dari:
a)    Anak laki-laki
b)    Sudara laki-laki
c)    Paman
d)   Anak paman
  1. Adanya janji Prasetia (المخالفة)
Orang-orang yang mempunyai ikatan janji prasetia dengan si mati berhak mendapatkan seperempat harta peninggalannya. Janji prasetia tersebut baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak telah mengadakan ijab-Qabul dan janji prasetianya. Ucapan (sumpah) yang bisa digunakan, antara lain:
دَمِّىْ دَمُّكَ وَهَدْمِىْ هَدْمُكَ تَرِثُنِىْ وَأَرِثُكَ وَتُطْلَبُ بِى وَأُطْلَبُ بِكَ
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku terhadapmu”.
  1. Adanya pengangkatana anak (تبنّى)
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri. Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak mendapatkan harta peninggalannya seperti anak keturunan si mati. Dalam segala hal, ia dianggap serta diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang sudah dewasa. Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka miliki.
  1. II.          Pewarisan Pada Masa Awal Islam
Pada masa awal islam, kekuatan kaum muslimin masih sangat lemah, lantaran jumlah mereka sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat, Rasulullah saw. meminta bantuan penduduk di luar kota Mekkah yang sepaham dan simpatik terhadap perjuangannya dalam memberantas kemusyrikan.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa awal Islam ada tiga macam:
a)    Adanya pertalian kerabat (القربة)
b)   Adanya pengangkatan anak (التبني)
c)    Adanya Hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar (الهجرة والمؤخة)
  1. III.     Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya
Setelah aqidah umat Islam bertambah kuat, dan satu sama lain diantara mereka telah terpupuk rasa saling mencintai, apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah saw. sudah sangat melekat, perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikut bertambah banyak, pemerintahan Islam sudah stabil, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah telah dibatalkan oleh firman Allah swt.
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنَِسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَلِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًا (النّساء :٧)
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S a-Nisa, [4]:7)
Sebab-sebab pewaris yang berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh firman Allah SWT
…وَأُوْلُواالأرْحَامْ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِى كِتَابِ الله إنّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَليْمٌ (الأنفال : ٧٥)
“… orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S al-Anfal,[8]:75)”.
Sedangkan pewarisan yang berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi) dibatalkan oleh firman Allah:
…وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ. أُدْعُهُمْ لِأَبَاءِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا أبَاءَهُمْ فَإِخْوَنُكُمْ فِي الدِّيْنِ وَمَوَلِيْكُمْ
“… dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu …” (Q.S al-Ahzab [33]:4-5)
Dari uraian diatas, dapatlah dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).
B. Pengertian
Lafadz faraidh (الفَرَئِض), sebagai jamak dari lafadz faridhah (فريضة), oleh ulama Faradhiyun diartikan semakna dengan lafadz mafrudhah (مفروضة), yakni bagian yang telah dipastikan atau ditentukan kadarnya. Adapun lafadz al-Mawarits (المواريث) merupakan jamak dari lafadz mirats (ميراث). Maksudnya adalah
التِّرْكَةُ الَّتِي خَلَفَهَا الْمَيِّتُ وَوَزَثَهَا غَيْرُهُ
“Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris)”.
Sedangakan pendapat-pendapat ulama mengenai definisi ilmu faraidh atau Fiqih Mawaris:
  • Muhammad al-Syarbiny mendefinisikan ilmu Faraidh sebagai berikut:
الفِقْهُ المُتَعَلِّقُ بِالإِرْثِ وَمَعْرِفَةِ الْحِسَابِ المُوَصِّلُ اِلَى مَعْرِفَةِ ذَالِكَ وَمَعْرِفَةِ قَدْرِ الْوَجِبِ مِنَ التَّرْكَةِ لِكُلِّ ذِىْ حَقٍّ
“Ilmu fiqih yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris)”.
  • Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لاَ يَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلِّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَةُ التَّوْزِيْعِ
“Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar-kadar yang diterima oelh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya”.
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan sebagai berikut:
العِلْمُ الْمُوَصِّلُ إِلَى مَعْرِفَةِ قَدْرٍ مَا يَجِبُ بِكُلِّ ذِىْ حَقٍّ مِنَ التِّرْكَةِ
“Ilmu yang membahas tentang kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi setiap orang yang berhak menerimanya (ahli waris)”.
  • Rifa’I Arief mendefinisikan sebagai berikut:
قَوَاعِدُ وأُصُوْلٌ تُعْرَفُ بِهَا الْوَرِثَهُ وَالنَّصِيْبُ الْمُقَدَّرُ لَهُمْ وَطَرِيْقَهُ تَقْسِبْمِ التَّرْكَةِ لِمُسْتَحِقِّهَا
“Kaidah-kaidah dan pokok yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka (ahli waris) dan cara membagikan harta peninggalan kepada orang (ahli waris) yang berhak menerimanya”.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu faraidh atau fiqih Mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan tersebut.
C. Istilah-istilah yang berhubungan dengan fiqh mawarits
1)        القَطْع (al-qath’) yang berarti ketetapan atau kepastian. Misalnya dalam ungkapan  فَرَضْتُ لِفُلانٍ كَذَا مِنَ المَال أي قَطَعْتُ Aku telah menetapkan dengan pasti bagian harta untuk si Fulan’. Dalam firman Allah SWT disebutkan  نَصِيْبًا مَفْرُوضًا …. “sebagai suatu bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisaa [4]:7).
2)        التَقْدِيرْ (at-taqdir) yang berarti suatu ketentuan, seperti firman Allah SWT,…….فريضة فَنِصْفُ ما فَرَضْتُم “….karena itu bayarlah separuh dari jumlah yang telah kau tentukan itu . . .”(al-Baqarah [2]:237).
3)        الإنزال (al-inzal) yang berarti menurunkan, seperti firman Allah, “sesungguhnya, yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hokum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali….”(al-qashash[28] 85)
4)        التبيين (at-tabyin) yang berarti penjelasan, seperti firman Allah. “Sesungguhnya, Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu….”(at-tamrin [66]: 2)
5)        الإحلال(al-ihlal) yang berarti mengalahkan, seperti firman-Nya, “Tidak suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya.”(al-Ahzab[33]:38)
6)         العطاء(al-Atha) yang berarti pemberian, seperti dalam pepatah bangsa Arab yang berbunyi, لا أصَبْتُ مِنْهُ فَرْضًا وَلاَ قَرْضًا أَى عَطَاءً“Aku tidak mendapatkan pemberian atau pun pinjaman darinya’. Kata fardh dalam ungkapan tersebut berarti pemberian.
D. Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Faraidh
Dalam ayat-ayat Mawaris Allah menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, menunjukkan bagian warisan dan syarat-syaratnya menjelaskan keadaan-keadaan dimana manusia mendapat warisan dan dimana ia tidak memperolehnya, kapan ia mendapat warisan dengan penetapan atau menjadi ashobah (menunggu sisa atau mendapat seluruhnya) atau dengan kedua-duanya sekaligus dan kapan ia terhalang untuk mendapatkan warisan sebagian dan seluruhnya.
Begitu besar derajat Ilmu Faraidh bagi umat Islam sehingga oleh sebagian besar ulama dikatakan sebagai separoh Ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni:
تَعَلَّمُوا القُرْانَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ, وَتَعَلَّمُوْا الفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهَا النَّاسَ, فَإنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَالعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يُخْبِرُهَا
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat), sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara mereka”.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan, disebabkan ketiadaan ulama faraidh. Perintah tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Dalam buku lain, kami menemukan bahwa dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syariat Islam dalam perkara waris maka wajib (wajib kifayah) pula hukum belajar dan mengajarkan ilmu faraidh
                 MAWARIS/FARAID
.
         Pengertian Mawaris :
Harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli warisnya
         Faraid :
Bagian-bagian yang telah ditetapkan oleh syarak
         Pengertian Ilmu Mawaris
         adalah Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap- tiap ahli waris dan cara pembagiannya

Warisan adalah harta yang ditinggal mati oleh seseorang yang meninggal dunia yang menjadi hak bagi ahli warisnya
         TUJUAN ILMU WARIS
         Agar dapat melaksanakan pembagian harta waris kpd ahli wrs yg berhak menerima sesuai dg ketentaun syariat
         Agar diket scr jls siap yg berhak menerima wrsan, brp bag msg-msg dan siapa yg tdk berhak.
         Menentukan pembgn harta wrsan scr adil dan benar shg tdk terjd perselisihan disbbkan harta pusaka
         YANG HARUS DISELESAIKAN SEBELUM BAGI WARISAN
1.      Biaya pengurusan jenazah
2.      Membayar hutang
3.      Melaksanakan wasiat, bila meninggalkan pesan
4.      Membayar zakat hartanya, bila zakatnya belum di bayarkan.
         Sebab-sebab mendapat warisan
1.      Karena hub nasab ( keturunan )
2.      Sebab perkawinan
3.      Hubungan agama
4.      Wala’ yaitu orang yg memerdekakan budak. Jika budak yg dimerdekakan meninggal dan tidak mempunyai wrs maka hartannya diwarisi yang memerdekakannya
         AHLI WARIS
1. Ahli Waris dari pihak laki-laki.
            a. Anak laki-laki                    i. Ank lk dr sdr lk sbp
            b. Cc lk2 dr anak lk2                        j. Pmn skdg bp
            c. Bapak                                             k. Pmn sbp dg bp
            d.Kakek dr pihak Bp                        l. Ank lk pmn skdg bp
            e. Sdr lk2 skdg                                   m. Ank lk2pmn sbpbp
            f. Sdr lk2 sbp                         n. Suami
            g.Sdr lk2 seibu                                   o. Lk2 yg memrdkkan
            h. anak lk2 dr sdr lk2 skdg
         BILA 15 AHLI WARIS ADA, MAKA YANG MENDAPAT WARISAN ADALAH :
1.      Anak lai-laki
2.      Bapak
3.      Suami
         AHLI WARIS DARI PIHAK PEREMPUAN :
1.      Anak Pr                     7. Sdr pr sebp
2.      Cc pr dr ank lk          8. Sdr pr seibu
3.      Ibu                              9. Istri
4.      Nenk dr ibu               10. Pr yg dimerdkkan
5.      Nenk dr ayh
6.      Sdr pr skdg
         BILA ADA SEMUANYA MAKA
1.      Anak Perempuan
2.      Istri
3.      Ibu
4.      Cucu pr dari anak lk2
5.      Saudara pr sekandung
         Bila semua ahli waris ada maka yang mendapat warisan adalah :
1.      Suami atau istri
2.      Ibu
3.      Bapak
4.      Anak laki-laki
5.      Anak perempuan
         AHLI WARIS ASHOBAH
1.      Ashobah binafsih
2.      Ashobah bil gahir
3.      Ashobah mal ghair
         Ashobah binafsih
   Yaitu menjadi ashobah dengan sendirinya, karena mereka langsung menjadi ashobah tanpa disebabkan oleh orang lain.
         Ashobah binafsih
1.      Anak laki-laki
2.  Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.  Bapak
4.  Kakek dari pihak bapak
5.  Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Anak dari saudara laki-laki sekandung
8. Anak dari saudara laki-laki sebapak
9. Paman yang sekandung dari bapak
10. Paman yang sebapak dengan bapak
11.Anak laki-laki paman yang sekandung dari bapak
12. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
         Ashobah bil ghair
   Ashobah karena orang lain, yaitu setiap perempuan akan menjadi ashobah karena laki-laki. Kemudian perempuan itu mewarisi bersama laki-laki dengan ketentuan bagian laki-laki 2 X bagian perempuan
         Ashobah bil gahir
         Anak perempuan dengan sebab anak laki2
         Cucu perempuan dari anak laki2 sebab ada cucu laki2 dari anak lk2
         Saudara pr kdg sebab ada sdr laki2 kandung
         Sdr pr sebapak sebab sdr laki2 sebapak
         Ashobah bil gahir
         Anak perempuan seorang atau lebih menjadi asobah bersama anak laki-laki
         Cucu perempuan
         Saudara perempuan sekandung, bila dng  sdr laki2
         Saudara pr sebapak, bila bersma sdr lk sebpk
         Ashobah mal ghair : menjadi ashobah bersama orang lain
         Saudara pr sekandung; bila ahli warisnya sdr pr sekandung dan anak pr seorg atau lbh, atau sdr pr sekandung dan cucu pr.
         Saudara pr sebapak; apabila ahli warisnya sdr pr sebpk dan anak pr seorg atau lebih
         HIJAB
   Adalah dinding  yng menghalangi untuk mendapat warisan bagi sebagian ahli waris karena masih ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dg yag meninggal;
1.      Hijab Nuqshon ; hanya mengurangi bagian  suami dpt ½ bagian krn ada anak dpt ¼ bagian
2.      Hijab hirman; menghalangi untuk dpt warisan             a. kakek tdk dpt warisan krn ada bapk
            b.cucu lk2 tdk dpt wrs karena ada anak lk2
            c. Nenek tdk dpt wrs krn ada ibu
            d. Sdr kdg tdk dpt krn ada anak lk dan bapak
            e. Sdr lk2 sebp tdk dpt krn ada anak lk2, bp, sdr lk2 kdg
         BAGIAN-BAGIAN TERTENTU AHLI WARIS
1). Bagian  ½ ( seperdua ), adalah:
             a) Anak perempuan apabila ia sendirian tidak   
        bersama-bersama    saudaranya
            b) Saudara seibu sebapak jika sendirian
   c) Anak perempuan dari anak laki-laki jika tidak 
       ada anak perempuan yang   lain
  d) Suami jika tidak mempunyai anak atau tidak 
      ada anak dari anak laki-laki   (  cucu ), baik  
      laki-laki maupun perempuan
         2.     Bagian ¼ (seperempat ), yaitu sebagai berikut :
a) Suami jika istrinya yang meninggal itu mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
b) Istri, baik seorang atau lebih jika suami tidak meninggalkan anak  dan tidak ada pula anak dari anak laki-laki ( cucu ), baik laki-laki maupun perempuan. Jika istri lebih dari satu, cara pembagiannya seperempat dibagi sejumlah istri.
         4) Bagian 2/3 (dua pertiga ), yaitu sebagai berikut :
a) Dua anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada  anak laki-laki. Jika ada ank laki-laki, anak perempuan menjadi ahli waris asabah
b) Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki ( cucu ) jika tidak ada  anak perempuan.
c) saudara perempauan seibu sebapak atau saudara sebapak saja
d) Sdr perempuan sebapk, 2 org atau lbh jika tdk ada sdr perempuan kandung
         3) Bagian 1/8 ( seperdelapan ),  
          Istri,  jika suami   meninggalkan anak, baik laki-laki atau perempuan atau anak dari  anak laki-laki (cucu ) baik laki-laki atau perempuan
         5) Bagian 1/3, bagi ;
1.      Ibu, jika yg meninggal tidak mempunyai anak/cucu ( dr anak lk2), tdk meninggalkan  2 org sdr ( lk2 atau pr), baik sdr kandung atau sebpk.
2.      Dua orang sdr atau lbh, dr sdr yang seibu, baik lk2 maupun pr.
         6. Bagian  1/6, bagi :
1.      Ibu, bila yang meninggal mpy anak, cucu dr anak lk2, sdr baik laki2 atau pr.
2.      Bapak atau kakek jika yang meninggal itu meninggalkan anak atau cucu dr anak lk2.
3.      Nenek jk ibu dari si mayit tidak ada
4.      Cucu perempuan dari anak lk2, baik satu atau lebih, jika bersama satu anak pr. Bila anak pr mayit > 1, cucu pr tdk mendapat.
5.      Seorang sdr seibu, baik lk maupun pr.
6.      Seorg sdr pr sebp atau lebih
         Al Gharawain
Adalah dua masalah yang aneh dlm pembagian warisan karena ahli warisnya hanya suami atau istri serta bapak dan ibu.
Ibu : 1/3
Bp : ashobah
Suami : ½
         ‘AUL
         Apabila jumlah bagian dzawil furud melebihi jumlah pokok masalah, maka bagian dari masing2 ahli waris tetap, hanya pokok masalahnya berubah, yakni menurut jumlah masing2 ahli waris
         HIKMAH MAWARIS
1.      Memperkuat keyakinan bahwa Allah Maha Adil
2.      Ahli waris yang punya hub darah secara langsung pasti mendapat warisan
3.      Suami dapat bagian dari istri dan sebaliknya
4.      Anak laki2 dpt bagian warisan 2x lipat dari pr karena tggjwbnya
5.      Patuh hk waris patuh pada Allah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar